Minggu, 13 Juni 2010

TENTANG POLIGAMI

Pembicaraan tentang poligami selalu menjadi pembicaraan yang menuai kontroversi. Tanggapan sinis dan cenderung negative banyak dilontarkan kaum perempuan dengan nada emosional. Tulisan berikut ini semoga dapat membuka cakrawala baru baik bagi kaum laki-laki yang dianggap sebagai subjek poligami maupun kaum perempuan yang sering dianggap sebagai objek penderita dari praktek poligami. Bahwa poligami itu memang diperbolehkan dalam syariat Islam hanya saja harus memenuhi syarat-syaratnya.
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.” (Qs.Surat an-Nisa ayat 3).
Ayat di atas merupakan dasar diperbolehkannya poligami. Tapi kita melihat ayat tersebut harus lengkap, jangan sepotong-sepotong. Bahwa diperbolehkannya berpoligami harus memenuhi syarat-syaratnya demi untuk menjaga ketinggian budi pekerti dan nilai kaum muslimin. Ini berarti poligami tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenang.
Syarat-syarat untuk berpoligami diantaranya sebagai berikut:
1. Membatasi jumlah isteri yang akan dikawininya.
Syarat ini telah disebutkan oleh Allah (SWT) dengan firman-Nya (QS. an-Nisa ayat 3) seperti disebutkan di atas.
Ayat di atas menerangkan dengan jelas bahawa Allah telah menetapkan seseorang itu menikah tidak boleh lebih dari empat orang isteri. Jadi, Islam membatasi kalau tidak beristeri satu, boleh dua, tiga atau empat saja.
Nabi Muhammad, nabi utama agama Islam melakukan praktik poligami pada delapan tahun sisa hidupnya, sebelumnya ia beristri hanya satu orang selama 28 tahun. Setelah istrinya saat itu meninggal (Khadijah) barulah ia menikah dengan beberapa wanita. Kebanyakan dari mereka yang diperistri Muhammad adalah janda mati, kecuali Aisyah (putri sahabatnya Abu Bakar).
Dalam kitab Ibn al-Atsir, sikap beristeri lebih dari satu wanita yang dilakukannya adalah upaya transformasi social. Mekanisme beristeri lebih dari satu wanita yang diterapkan Nabi adalah strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.
Sebaliknya, Nabi membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam beristeri lebih dari satu wanita.
Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasaan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.
Jadi bisa dipahami di sini, bahwa poligami yang dilakukan nabi Muhammad adalah upaya meningkatkan derajat perempuan terutama para janda yang awalnya dinilai rendah menjadi memiliki kedudukan tinggi dengan dinikahi. Kemudian merupakan pembatasan paling banyak beristri empat yang awalnya bebas tanpa pembatasan. Itupun kalau mampu bertindak adil. Kalau tidak cukup satu saja.
2. Diharamkan bagi suami mengumpulkan wanita-wanita yang masih ada tali persaudaraan menjadi isterinya. Misalnya, menikahi kakak dan adiknya, ibu dan anaknya, bibi dan keponakannya.
Tujuan pengharaman ini ialah untuk menjaga silaturahmi antara anggota-anggota keluarga. Rasulullah (s.a.w.) bersabda, maksudnya;
"Sesungguhnya kalau kamu berbuat yang demikian itu, akibatnya kamu akan memutuskan silaturrahim di antara sesama kamu." (Hadis riwayat Bukhari & Muslim)
Kemudian dalam hadis berikut, Rasulullah (s.a.w.) juga memperkuatan larangan ini,
Bahwa Ummu Habibah (isteri Rasulullah) mengusulkan agar baginda menikahi adiknya. Maka beliau menjawab; "Sesungguhnya dia tidak halal untukku." (Hadis riwayat Bukhari dan Nasa'i)
Seorang sahabat bernama Fairuz Ad-Dailamy setelah memeluk agama Islam, beliau memberitahu kepada Rasulullah bahawa beliau mempunyai isteri yang kakak beradik. Maka Rasulullah menyuruhnya memilih salah seorang di antara mereka dan menceraikan yang satunya lagi.
3. Disyaratkan pula berlaku adil, sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam Al-Qur'an, Surah an-Nisa ayat 3.
Dengan tegas diterangkan serta dituntut agar para suami bersikap adil jika akan berpoligami. Andaikan takut tidak dapat berlaku adil kalau sampai empat orang isteri, cukuplah tiga orang saja. Tetapi kalau itupun masih juga tidak dapat adil, cukuplah dua saja. Dan kalau dua itu pun masih khawatir tidak berlaku adil, maka hendaklah menikah dengan seorang istri saja.
Para mufassirin berpendapat bahawa berlaku adil itu wajib. Adil di sini bukanlah berarti hanya adil terhadap para isteri saja, tetapi mengandungi arti berlaku adil secara mutlak. Oleh kerana itu seorang suami hendaklah berlaku adil sebagai berikut:
a) Berlaku adil terhadap dirinya sendiri.
Seorang suami yang selalu sakit-sakitan dan mengalami kesukaran untuk bekerja mencari rezeki, sudah tentu tidak akan dapat memelihara beberapa orang isteri. Apabila dia tetap berpoligami, ini bererti dia telah menganiayai dirinya sendiri. Sikap yang demikian adalah tidak adil.
b) Adil di antara para isteri.
Setiap isteri berhak mendapatkan hak masing-masing dari suaminya, berupa kemesraan hubungan jiwa, nafkah berupa makanan, pakaian, tempat tinggal dan lain-lain perkara yang diwajibkan Allah kepada setiap suami.
Adil di antara isteri-isteri ini hukumnya wajib, berdasarkan firman Allah dalam Surah an-Nisa ayat 3 dan juga sunnah Rasul. Rasulullah (s.a.w.) bersabda,
"Barangsiapa yang mempunyai dua isteri, lalu dia cenderung kepada salah seorang di antaranya dan tidak berlaku adil antara mereka berdua, maka kelak di hari kiamat dia akan datang dengan keadaan pinggangnya miring hampir jatuh sebelah." (Hadis riwayat Ahmad bin Hanbal)
a. Adil memberikan nafkah.
Dalam soal adil memberikan nafkah ini, hendaklah si suami tidak mengurangi nafkah dari salah seorang isterinya dengan alasan bahawa si isteri itu kaya atau ada sumber keuangan sendiri, kecuali kalau si isteri itu rela. Suami memang boleh menganjurkan isterinya untuk membantu dalam soal nafkah tetapi tanpa paksaan. Memberi nafkah yang lebih kepada seorang isteri dari yang lainnya diperbolehkan dengan sebab-sebab tertentu. Misalnya, si isteri tersebut sakit dan memerlukan biaya perawatan sebagai tambahan.
Prinsip adil ini tidak ada perbedaannya antara gadis dan janda, isteri lama atau isteri baru, isteri yang masih muda atau yang sudah tua, yang cantik atau yang tidak cantik, yang berpendidikan tinggi atau yang buta huruf, kaya atau miskin, yang sakit atau yang sehat, yang mandul atau yang dapat melahirkan. Semuanya mempunyai hak yang sama sebagai isteri.
b. Adil dalam menyediakan tempat tinggal.

Selanjutnya, para ulama telah sepakat mengatakan bahawa suami bertanggungjawab menyediakan tempat tinggal yang tersendiri untuk tiap-tiap isteri beserta anak-anaknya sesuai dengan kemampuan suami. Ini dilakukan semata-mata untuk menjaga kesejahteraan isteri-isteri, jangan sampai timbul rasa cemburu atau pertengkaran yang tidak diingini.

c. Adil dalam giliran.
Demikian juga, isteri berhak mendapat giliran suaminya menginap di rumahnya sama lamanya dengan waktu menginap di rumah isteri-isteri yang lain. Sekurang-kurangnya si suami mesti menginap di rumah seorang isteri satu malam suntuk tidak boleh kurang. Begitu juga pada isteri-isteri yang lain. Walaupun ada di antara mereka yang dalam keadaan haidh, nifas atau sakit, suami wajib adil dalam soal ini. Sebab, tujuan perkawinan dalam Islam bukanlah semata-mata untuk mengadakan 'hubungan seks' dengan isteri pada malam giliran itu, tetapi bermaksud untuk menyempurnakan kemesraan, kasih sayang dan kerukunan antara suami isteri itu sendiri. Hal ini diterangkan Allah dengan firman-Nya;
"Dan di antara tanda-tanda yang membuktikan kekuasaan-Nya, dan rahmat-Nya, bahawa la menciptakan untuk kamu (wahai kaum lelaki), isteri-isteri dari jenis kamu sendiri, supaya kamu bersenang hati dan hidup mesra dengannya, dan dijadikan-Nya di antara kamu (suami isteri) perasaan kasih sayang dan belas kasihan. Sesungguhnya yang demikian itu mengandungi keterangan-keterangan (yang menimbulkan kesedaran) bagi orang-orang yang berfikir." (Al-Qur'an, Surah ar-Ruum ayat 21)
Andaikan suami tidak bersikap adil kepada isteri-isterinya, dia berdosa dan akan menerima siksaan dari Allah (SWT) pada hari kiamat dengan tanda-tanda berjalan dalam keadaan pinggangnya miring. Hal ini akan disaksikan oleh seluruh umat manusia sejak Nabi Adam sampai ke anak cucunya.
c) Anak-anak juga mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan, pemeliharaan serta kasih sayang yang adil dari seorang ayah.
Oleh itu, disyaratkan agar setiap suami yang berpoligami tidak membeda-bedakan antara anak si anu dengan anak si anu. Berlaku adil dalam soal nafkah anak-anak mestilah diperhatikan bahwa nafkah anak yang masih kecil berbeda dengan anak yang sudah besar. Anak-anak perempuan berbeda pula dengan anak-anak lelaki.
Keadilan juga sangat dituntut oleh Islam agar dengan demikian si suami terpelihara dari sikap curang yang dapat merusak rumahtangganya. Seterusnya, diharapkan pula dapat memelihara dari terjadinya cerai-berai di antara anak-anak serta menghindarkan rasa dendam di antara sesama isteri.
Sesungguhnya kalau diperhatikan tuntutan syar’i dalam hal menegakkan keadilan antara para isteri, nyatalah bahawa sukar sekali didapati orang yang sanggup menegakkan keadilan itu dengan sebenarnya
Bersikap adil dalam hal cinta dan kasih sayang terhadap isteri-isteri, adalah satu tanggungjawab yang sangat berat. Hal ini sesuai dengan apa yang telah difirmankan Allah dalam Surah an-Nisa ayat 129 yang berbunyi;
"Dan kamu tidak sekali-kali akan sanggup berlaku adil di antara isteri-isteri kamu sekalipun kamu bersungguh-sungguh (hendak melakukannya); oleh itu janganlah kamu cenderung dengan melampau-lampau (berat sebelah kepada isteri yang kamu sayangi) sehingga kamu biarkan isteri yang lain seperti benda yang tergantung (di awang-awang)."
Ada sebuah hadits dari Aisyah Radhiallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membagi giliran di antara para istrinya secara adil, lalu mengadu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam do’a: “Ya Allah inilah pembagian giliran yang mampu aku penuhi dan janganlah Engkau mencela apa yang tidak mampu aku lakukan” [Hadits Riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim]
Menurut Prof. Dr. Syeikh Mahmoud Syaltout; "Keadilan yang dijadikan syarat diperbolehkan poligami berdasarkan ayat 3 Surah an-Nisa. Kemudian pada ayat 129 Surah an-Nisa pula menyatakan bahawa keadilan itu tidak mungkin dapat dipenuhi atau dilakukan. Sebenamya yang dimaksudkan oleh kedua ayat di atas ialah keadilan yang dikehendaki itu bukanlah keadilan yang menyempitkan dada kamu sehingga kamu merasakan keberatan yang sangat terhadap poligami yang dihalalkan oleh Allah. Hanya saja yang dikehendaki ialah jangan sampai kamu cenderung sepenuhnya kepada salah seorang saja di antara para isteri kamu itu, lalu kamu tinggalkan yang lain seperti terkatung-katung."
"Adil yang dimaksudkan di sini ialah 'kecondongan hati'. Dan ini tentu amat sulit untuk dilakukan, sehingga poligami adalah suatu hal yang sukar untuk dicapai. Jelasnya, poligami itu diperbolehkan secara darurat bagi orang yang benar-benar percaya dapat berlaku adil."
Selanjutnya beliau menegaskan, jangan sampai si suami membiarkan salah seorang isterinya terkatung-katung, digantung tak bertali. Hendaklah disingkirkan sikap condong kepada salah seorang isteri yang menyebabkan seorang lagi kecewa. Adapun condong yang dimaafkan hanyalah condong yang tidak dapat dilepaskan oleh setiap individu darinya, yaitu condong hati kepada salah seorang yang tidak membawa kepada mengurangkan hak yang seorang lagi.
4. Tidak menimbulkan huru-hara di kalangan isteri maupun anak-anak.
Jadi, suami mesti yakin bahwa perkawinannya yang baru ini tidak akan merusakkan kehidupan isteri serta anak-anaknya. Karena, diperbolehkan poligami dalam Islam adalah untuk menjaga kepentingan semua pihak. Jika kepentingan ini tidak dapat dijaga dengan baik, maka seseorang yang berpoligami pada saat itu adalah berdosa.
5. Berkuasa menanggung nafkah. Yang dimaksudkan dengan nafkah di sini ialah nafkah zahir, sebagaimana Rasulullah (s.a.w.) bersabda yang bermaksud;
"Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kamu yang berkuasa mengeluarkan nafkah, maka hendaklah kamu menikah. Dan barangsiapa yang tidak berkuasa, hendaklah berpuasa."
Hadist di atas menunjukkan bahwa Rasulullah (s.a.w.) menyuruh setiap kaum lelaki supaya menikah tetapi dengan syarat sanggup mengeluarkan nafkah kepada isterinya. Andaikan mereka tidak berkemampuan, maka tidak dianjurkan menikah walaupun dia seorang yang sehat lahir serta batinnya. Maka, untuk menahan nafsu seksnya, dianjurkan agar berpuasa. Jadi, kalau seorang isteri saja sudah kepayahan untuk memberi nafkah, sudah tentulah Islam melarang orang yang demikian itu berpoligami.
Dan Allah telah berfirman “Sesungguhnya telah ada bagi kamu pada Rasulullah suri teladan yang baik bagimu” [Al-Ahzab : 21].
Silakan bagi kaum laki-laki yang hendak berpoligami, ikutilah tauladan Nabi dengan sepenuhnya, jangan hanya dengan tujuan pemuasan nafsu syahwat semata. Tanggung jawab yang sangat besar berada dipundakmu. Bertanyalah dengan sungguh-sungguh pada dirimu sendiri : “Telah siapkah aku menanggung tanggung jawab yang besar? Telah siapkah aku untuk berlaku adil?” Kalau nuranimu yang paling dalam menjawab Ya, silakan lakukan poligami dan secara jantan. Lakukan secara syah baik menurut hukum agama maupun hukum pemerintah. Kalau Tidak, jangan sekali-kali kamu mempermainkan hukum-hukum Allah.
Poligami itu diperbolehkan oleh Islam dan tidak dilarang kecuali jikalau dikhawatirkan bahwa kebaikannya akan dikalahkan oleh keburukannya.

Ditulis oleh:
LINLIN HERLINA, S.Pd Guru di SMA N 1 Banjarsari.
Dari berbagai sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar