Minggu, 29 November 2009

PENTINGNYA MENUMBUHKAN KESADARAN DIRI PADA SISWA

Oleh : LINLIN HERLINA, S.Pd.

Menyikapi perubahan-perubahan kultur yang terjadi pada masyarakat kita dewasa ini, umumnya masyarakat Indonesia dan khususnya kalangan remaja yang masih pada tingkat usia sekolah, para pendidik mempunyai tanggung jawab yang lebih besar dan lebih berat dalam membantu membentuk pribadi siswa menjadi pribadi yang insan kamil. Pribadi insan kamil adalah pribadi unggulan, pribadi yang sempurna. Kesempurnaan moral yang bersih dari segala bentuk kemaksiatan yang terlahir dari kesadaran diri akan pengetahuan yang sempurna tentang Allah, menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan hidup untuk bekal masa depan, tidak hanya di dunia tapi sampai ke akhirat. Perubahan-perubahan kultur yang terjadi ini mungkin salah satunya disebabkan oleh kemajuan teknologi. Walaupun tidak dipungkiri, dengan adanya kemajuan teknologi kita banyak sekali merasakan manfaatnya tetapi harus kita waspadai pula akibat-akibat negatif yang ditimbulkannya. Teknologi internet diantaranya.Salah satu hal yang mesti dilakukan para pendidik dalam membentuk pribadi insan kamil adalah dengan menumbuhkan kesadaran diri siswa.

Kesadaran diri adalah kesadaran akan keberadaan dirinya, siapa dirinya, dari mana dia berasal, apa kelebihan dan kekurangan dirinya, apa tujuan hidupnya sampai pada tingkat untuk apa Tuhan menciptakan dirinya (manusia). Manusia diciptakan adalah untuk beribadah kepada Allah sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Adz Dzaariyaat (51) : 56 yang artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah Ku”Siswa atau siapapun yang memiliki kesadaran diri, dia akan mengenal dirinya sendiri, kemudian dapat menemukan potensi dirinya dan mengembangkan potensi itu untuk memperbaiki keadaan dirinya dan mengubah jalan hidupnya menuju ke arah yang lebih baik. Dia akan terus berusaha agar bisa berdiri di atas kakinya sendiri, akan dapat menyelesaikan problematika hidupnya dengan cara bijak dan dewasa, akan tahan terhadap segala rintangan dan cobaan yang menerpanya. Dia juga akan memiliki tingkat percaya diri yang tinggi dan mampu terus memotivasi dirinya untuk tidak kenal lelah berusaha dan berjuang untuk mencapai cita-citanya.Proses pengenalan diri ini merupakan proses yang cukup panjang, maka dari itu kita sebagai pendidik sangat berperan membantu para siswa untuk menumbuhkan kesadaran diri tersebut. Kesadaran diri ini bukan berarti membelenggu diri kita, menghambat kreativitas atau mungkin pembunuhan karakter. Kesadaran diri justru akan menjadi pijakan kita untuk meraih hal yang lebih baik. Pijakan yang kita buat adalah pijakan yang kokoh dan kuat, sebab kalau kita berpijak pada pijakan yang rapuh (berasal dari kepura-puraan) akan membuat kita jatuh dan kita akan mengalami kehancuran.

Pada dasarnya semua manusia akan cenderung kepada kebaikan, hanya kita sering tidak mendengarkan hati nurani kita sendiri, kita abaikan seruan hati nurani dengan membuat pembenaran-pembenaran terhadap perbuatan buruk yang kita lakukan.

Contoh sederhana tentang kesadaran diri:

Ada seorang siswa, dia menyadari betul bahwa dirinya berasal dari keluarga tidak mampu. Dia sangat bersyukur masih diberi kesempatan untuk bisa sekolah walaupun dia sebelumnya harus mengurus SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) dari desa/kelurahan agar bisa mendapatkan keringanan biaya dari sekolah dan bisa diajukan beasiswa. Dia menghargai betul jerih payah kedua orangtuanya untuk membiayai dia sekolah. Maka tumbuhlah tekadnya dalam hati bahwa dia akan bersungguh-sungguh dalam belajar, dia tidak akan menyia-nyiakan waktunya untuk hal-hal yang sia-sia. Belajar dan terus belajar sehingga dia menjadi siswa berprestasi. Dia tidak minta yang macam-macam kepada orangtuanya apalagi yang tidak berhubungan langsung dengan pendidikan, karena itu tadi dia sudah memiliki kesadaran siapa dirinya, bagaimana keadaan orangtuanya. Dia tidak minta HP, tidak minta sepatu atau tas yang mahal, tidak minta uang jajan yang banyak apalagi minta dibelikan sepeda motor. Sekali lagi karena dia memiliki kesadaran diri. Malah yang ada mungkin dia berusaha sendiri mencari pekerjaan part time (paruh waktu) untuk mendapatkan uang tambahan untuk sekedar bisa membeli buku-buku pelajaran atau di sekolah dia nyambi jualan yang kira-kira tidak mengganggu tugas utamanya untuk belajar. Tidak ada istilah gengsi untuk hal-hal yang positif. Sebaliknya siswa yang tidak memiliki kesadaran diri, dia tahu dirinya berasal dari keluarga tidak mampu tetapi tetap ingin tampil seolah-olah dia dari keluarga mampu. Dia berusaha menutupi keadaan dirinya yang sebenarnya. Dia memaksa kepada orangtuanya untuk dibelikan macam-macam di luar kemampuan orangtuanya. Minta dibelikan HP atau motor. Kalau tidak dituruti dia akan mogok sekolah, sering bolos dan melakukan hal-hal yang negatif lainnya. Atau mungkin dia berusaha mencari uang sendiri tapi dengan jalan tidak halal karena yang penting uangnya besar sehingga dia bisa tampil hebat di hadapan teman-temannya. Amat berbahaya apabila terjadi demikian. Kesadaran diri itu sangat penting.

Contoh lain: Seorang siswa yang memiliki kesadaran diri. Dia sadar bahwa dirinya memiliki kekurangan yaitu lambat dalam menerima pelajaran. Dengan kesadarannya itu dia berusaha dengan sangat gigih bahwa dia tidak boleh ketinggalan dari teman-temannya. Dia belajar dan terus belajar. Temannya membaca cukup satu kali, dia akan membaca 10 kali atau bahkan seratus kali. Bisa diumpamakan, temannya melangkah dia lakukan dengan berjalan, temannya berjalan dia lakukan dengan berlari dan seterusnya. Dia banyak bertanya baik kepada guru, teman, atau saudara. Akhirnya yang tadinya dia tidak bisa menjadi bisa, yang tadinya tidak mengerti menjadi mengerti. Sebaliknya siswa yang lambat menerima pelajaran tapi tidak memiliki kesadaran diri, dia akan mencari jalan pintas dengan menyontek ketika ulangan atau menyalin pekerjaan orang lain apabila ada Pekerjaan Rumah (PR) atau tugas dari guru. Dia tidak akan menjadi siswa yang berilmu pengetahuan tinggi dan berprestasi.

Satu contoh lagi:

Seorang siswa anak tokoh masyarakat atau pejabat yang sangat disegani dan dihormati. Apabila siswa tersebut memiliki kesadaran diri maka dia akan berperilaku yang baik dalam kesehariannya. Dia mencoba menyelaraskan dirinya dengan ketokohan Bapaknya. Dia menyadari betul kalau dia berperilaku buruk akan berdampak pada citra orangtuanya, akan mencemarkan nama baik orang tuanya. Dia bahkan akan berusaha menjadi teladan bagi teman-temannya yang lain. Sebaliknya siswa yang anak tokoh masyarakat atau pejabat tadi tidak memiliki kesadaran diri, dia justru akan berperilaku seenaknya sendiri mentang-mentang anak pejabat, dia mengganggap akan kebal hukum atau tidak akan ada yang berani menegur dirinya. Maka dia akan menjadi anak yang sombong yang pada akhirnya akan dijauhi teman-temannya.Bagaimana caranya seorang pendidik menumbuhkan kesadaran diri siswa tersebut? Diantaranya dengan cara menjadi contoh yang baik bagi siswa-siswanya, berkomunikasi yang baik dengan siswa, banyak bercerita tentang tokoh-tokoh teladan. Mau mendengarkan sekaligus memberikan nasehat yang baik bagi siswa-siswa yang bermasalah, selalu mengaitkan pelajaran yang kita berikan dengan nilai-nilai agama dan masih banyak lagi cara yang lain. Tugas guru bukan hanya mengajar, tapi justru tugas mendidik yang lebih berat. Transfer of knowledge and transfer of value. Semoga kita diberi kekuatan untuk terus menjalankan tugas yang mulia ini. Amiin.

Penulis adalah Guru di SMA Negeri 1 Banjarsari,Jln. Raya KM.3 Banjarsari – Ciamis 46383.

E-mail: herlinalinlin@yahoo.co.id

Senin, 16 November 2009

AHSANU QAULAN

AHSANU QAULAN

Ditulis oleh : Linlin Herlina, S.Pd.

Guru SMA Negeri 1 Banjarsari

Jln. Raya KM.3 Banjarsari-Ciamis 46383.

Tulisan ini saya dedikasikan untuk para orang tua, guru, dan masyarakat pada umumnya yang menginginkan pendidikan anak yang ideal sejak dini.

Tema yang saya angkat adalah AHSANU QAULAN (Perkataan yang baik) sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Fushshilat ayat 33, yang artinya: "Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal soleh dan berkata : “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim (orang-orang yang berserah diri)”.

Ayat di atas menjelaskan bahwa kita harus AHSANU QAULAN (berkata-kata dengan baik) yaitu dengan menyeru kepada Allah, beramal soleh, dan menyatakan aku muslim (berserah diri). Berkata-kata adalah juga berkomunikasi. Ummat Islam adalah ummat yang dapat berkomunikasi dengan baik, berkata-kata atau berbicara dengan baik.

Di ayat lain Allah menegaskan lagi kenyataan ini yaitu pada Q.S. Al-Ahzab ayat 70, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar”.

Allah memerintahkan kita berbicara baik dan benar, tapi kenyataan yang kita lihat sekarang banyak orang yang kasar dalam bicara, asal bicara, asal tuduh, fitnah, hasad dan hasud. Naudubillaimindalik. Bahkan di kalangan elit politik, mereka saling melemparkan hujatan atau cemoohan untuk menjatuhkan lawan politiknya.

Marilah kita bercermin ke dalam diri kita masing-masing. Sudahkan kita AHSANU QAULAN (berkata dengan baik) dalam keseharian kita? Komunikasi dalam keluarga, antara suami dengan istri, istri dengan suami. Orang tua dengan anak dan sebaliknya anak denga orang tua, sudahkah AHSANU QAULAN? Komunikasi di lingkungan masyarakat, di lingkungan kerja, sudahkah AHSANU QAULAN?

Orang tua adalah contoh atau teladan pertama bagi anak-anaknya. Sebenarnya perkembangan bahasa sudah dimulai sejak anak lahir. Perkembangan bahasa anak dimulai dengan bahasa tangisan, isyarat, kemudian ocehan, dan celotehan. Biasanya saat anak menginjak usia satu tahun anak mulai dapat mengucapkan satu atau dua buah kata sebagai kata pertamanya: “mamah... papah...”

Bahasa pertama anak merupakan tiruan dari apa yang yang dia dengar dari lingkungannya. Semakin banyak dan semakin sering anak mendengar, maka semakin banyak kata yang dia kuasai. Pada masa perkembangan bicara, orang tua adalah contoh utama dalam berbicara. Oleh karena itu berbicaralah dengan bahasa yang baik. Sebaiknya orang tua tidak lagi menggunakan “bahasa bayi” (dibuat cadel) saat si kecil mulai mulai dapat mengucapkan beberapa kata. Perkembangan bahasa anak akan terhambat bila orangtua tidak menggunakan bahasa yang baik dan benar.

Hal lain yang tidak kalah penting dalam mengajarkan anak berbicara adalah konsistensi penggunaan bahasa. Baik bahasa daerah, bahasa nasional, ataupun bahasa asing yang dijadikan bahasa ibu bagi anak. Yang terpenting adalah orangtua konsisten dan berusaha menggunakan bahasa yang baik dan benar. Fenomena yang trejadi pada masyarakat kita (masyarakat sunda) banyak orang tua yang memaksakan anaknya untuk menggunakan bahasa nasional sebagai bahasa ibu namun dengan logat dan struktur kata bahasa sunda. Kondisi tersebut bisa jadi merupakan salah satu faktor penyebab keterlambatan kemampuan berbicara pada anak.

Terkadang tanpa kita sadari kita telah mengajari anak untuk berbohong. Misalnya ketika telephon berdering, karena kita sedang malas atau tanggung sedang mengerjakan sesuatu, anak kiat yang mengangkat telephon. Kita teriak: “ Nak, kalau mau bicara dengan mamah, bilangain tidak ada”. Dalam benak anak tertanam bahwa berbohong bukan lagi suatu perbuatan dosa karena ibunya sendiri melakukan hal itu.

Komunikasi ibu dengan anak, orang tua dengan anak atau komunikasi dalam keluarga adalah komunikasi dalam lingkup yang sangat kecil, tetapi merupakan pondasi yang memiliki pengaruh yang sangat kuat bagi anak untuk dapat berkomunikasi atau berbicara dengan lingkup yang lebih luas yaitu di masyarakat. Apabila komunikasi dalam lingkup yang kecil ini sudah baik, Insya Allah akan menghasilkan generasi yang mampu berkomunikasi dengan baik dan benar. Orangtua secara dini juga sudah harus mengarahkan anak untuk mengenal Tuhannya yaitu Allah SWT, mengerjakan amal soleh, dan berserah diri.


Apabila komunikasi dalam keluarga saja tidak baik (bahasanya kasar, menggunakan bahasa kebun binatang, tidak beretika, tidak melihat tujuan untuk apa dia berbicara, apa akibat yang terjadi setelah dia berbicara) bagaimana berkomunikasi dengan orang lain, dengan masyarakat? Maka pantas saja banyak orang yang asal bicara,. Bicara untuk mencari kesalahan orang lain bukan untuk mencarai solusi. Bicara hanya untuk menyakiti. Di kalangan ibu-ibu lebih senang bergunjing daripada berdiskusi untuk menambah ilmu dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah walaupun tempatnya di Mesjid sekalipun (Pengajian).

Saya mau bercerita: Ada suatu kisah, seorang anak yang bertemperamen kurang baik, mudah emosi, sering sekali mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hati orang lain terutama saat keinginannya tidak terpenuhi. Orangtua si anak datang ke seorang psikolog untuk mencari jalan keluar bagaimana caranya supaya si anak dapat berubah menjadi baik. Psikolog itupun menyuruh orang tua si anak untuk membeli sekantung paku. Setiap anak itu marah, suruhlah dia menancapkan paku itu di dinding kamarnya. Dari hari ke hari anak itu sudah dapat mengurangi atau menahan marahnya, mungkin karena emosinya tersalurkan lewat aktifitas menancapkan paku, sampai paku di kantong itu habis. Setelah habis, masih kadang-kadang muncul marah. Psikolog itu menyuruh orang tua agar si anak tersebut mencabuti kembali paku-paku yang ditancapkannya sampai paku-paku itupun habis tercabut dan anak semakin pandai mengendalikan emosinya. Sang psikolog lalu menyuruh orang tua agar anak itu memperhatikan lubang-lubang bekas paku itu. Lihatlah nak, dulu kamu sering mengeluarkan kata-kata yang menyakiti orang lain sama dengan kamu menancapkan paku-paku itu walaupun kamu sudah meminta maaf yaitu sama dengan mencabuti kembali paku-paku itu, tetap akan ada bekas sakit hati sama denag lubang-lubang paku yang menganga itu. Anak itupun tertunduk dan menyesali, kemudian berjanji untuk terus berkata yang baik walaupun dalam keadaan marah sepanjang hidupnya.

Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari kisah di atas. Hanya Allahlah penolong kita. Semoga kita senantiasa berada di jalan-Nya.