Senin, 16 November 2009

AHSANU QAULAN

AHSANU QAULAN

Ditulis oleh : Linlin Herlina, S.Pd.

Guru SMA Negeri 1 Banjarsari

Jln. Raya KM.3 Banjarsari-Ciamis 46383.

Tulisan ini saya dedikasikan untuk para orang tua, guru, dan masyarakat pada umumnya yang menginginkan pendidikan anak yang ideal sejak dini.

Tema yang saya angkat adalah AHSANU QAULAN (Perkataan yang baik) sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Fushshilat ayat 33, yang artinya: "Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal soleh dan berkata : “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim (orang-orang yang berserah diri)”.

Ayat di atas menjelaskan bahwa kita harus AHSANU QAULAN (berkata-kata dengan baik) yaitu dengan menyeru kepada Allah, beramal soleh, dan menyatakan aku muslim (berserah diri). Berkata-kata adalah juga berkomunikasi. Ummat Islam adalah ummat yang dapat berkomunikasi dengan baik, berkata-kata atau berbicara dengan baik.

Di ayat lain Allah menegaskan lagi kenyataan ini yaitu pada Q.S. Al-Ahzab ayat 70, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar”.

Allah memerintahkan kita berbicara baik dan benar, tapi kenyataan yang kita lihat sekarang banyak orang yang kasar dalam bicara, asal bicara, asal tuduh, fitnah, hasad dan hasud. Naudubillaimindalik. Bahkan di kalangan elit politik, mereka saling melemparkan hujatan atau cemoohan untuk menjatuhkan lawan politiknya.

Marilah kita bercermin ke dalam diri kita masing-masing. Sudahkan kita AHSANU QAULAN (berkata dengan baik) dalam keseharian kita? Komunikasi dalam keluarga, antara suami dengan istri, istri dengan suami. Orang tua dengan anak dan sebaliknya anak denga orang tua, sudahkah AHSANU QAULAN? Komunikasi di lingkungan masyarakat, di lingkungan kerja, sudahkah AHSANU QAULAN?

Orang tua adalah contoh atau teladan pertama bagi anak-anaknya. Sebenarnya perkembangan bahasa sudah dimulai sejak anak lahir. Perkembangan bahasa anak dimulai dengan bahasa tangisan, isyarat, kemudian ocehan, dan celotehan. Biasanya saat anak menginjak usia satu tahun anak mulai dapat mengucapkan satu atau dua buah kata sebagai kata pertamanya: “mamah... papah...”

Bahasa pertama anak merupakan tiruan dari apa yang yang dia dengar dari lingkungannya. Semakin banyak dan semakin sering anak mendengar, maka semakin banyak kata yang dia kuasai. Pada masa perkembangan bicara, orang tua adalah contoh utama dalam berbicara. Oleh karena itu berbicaralah dengan bahasa yang baik. Sebaiknya orang tua tidak lagi menggunakan “bahasa bayi” (dibuat cadel) saat si kecil mulai mulai dapat mengucapkan beberapa kata. Perkembangan bahasa anak akan terhambat bila orangtua tidak menggunakan bahasa yang baik dan benar.

Hal lain yang tidak kalah penting dalam mengajarkan anak berbicara adalah konsistensi penggunaan bahasa. Baik bahasa daerah, bahasa nasional, ataupun bahasa asing yang dijadikan bahasa ibu bagi anak. Yang terpenting adalah orangtua konsisten dan berusaha menggunakan bahasa yang baik dan benar. Fenomena yang trejadi pada masyarakat kita (masyarakat sunda) banyak orang tua yang memaksakan anaknya untuk menggunakan bahasa nasional sebagai bahasa ibu namun dengan logat dan struktur kata bahasa sunda. Kondisi tersebut bisa jadi merupakan salah satu faktor penyebab keterlambatan kemampuan berbicara pada anak.

Terkadang tanpa kita sadari kita telah mengajari anak untuk berbohong. Misalnya ketika telephon berdering, karena kita sedang malas atau tanggung sedang mengerjakan sesuatu, anak kiat yang mengangkat telephon. Kita teriak: “ Nak, kalau mau bicara dengan mamah, bilangain tidak ada”. Dalam benak anak tertanam bahwa berbohong bukan lagi suatu perbuatan dosa karena ibunya sendiri melakukan hal itu.

Komunikasi ibu dengan anak, orang tua dengan anak atau komunikasi dalam keluarga adalah komunikasi dalam lingkup yang sangat kecil, tetapi merupakan pondasi yang memiliki pengaruh yang sangat kuat bagi anak untuk dapat berkomunikasi atau berbicara dengan lingkup yang lebih luas yaitu di masyarakat. Apabila komunikasi dalam lingkup yang kecil ini sudah baik, Insya Allah akan menghasilkan generasi yang mampu berkomunikasi dengan baik dan benar. Orangtua secara dini juga sudah harus mengarahkan anak untuk mengenal Tuhannya yaitu Allah SWT, mengerjakan amal soleh, dan berserah diri.


Apabila komunikasi dalam keluarga saja tidak baik (bahasanya kasar, menggunakan bahasa kebun binatang, tidak beretika, tidak melihat tujuan untuk apa dia berbicara, apa akibat yang terjadi setelah dia berbicara) bagaimana berkomunikasi dengan orang lain, dengan masyarakat? Maka pantas saja banyak orang yang asal bicara,. Bicara untuk mencari kesalahan orang lain bukan untuk mencarai solusi. Bicara hanya untuk menyakiti. Di kalangan ibu-ibu lebih senang bergunjing daripada berdiskusi untuk menambah ilmu dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah walaupun tempatnya di Mesjid sekalipun (Pengajian).

Saya mau bercerita: Ada suatu kisah, seorang anak yang bertemperamen kurang baik, mudah emosi, sering sekali mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hati orang lain terutama saat keinginannya tidak terpenuhi. Orangtua si anak datang ke seorang psikolog untuk mencari jalan keluar bagaimana caranya supaya si anak dapat berubah menjadi baik. Psikolog itupun menyuruh orang tua si anak untuk membeli sekantung paku. Setiap anak itu marah, suruhlah dia menancapkan paku itu di dinding kamarnya. Dari hari ke hari anak itu sudah dapat mengurangi atau menahan marahnya, mungkin karena emosinya tersalurkan lewat aktifitas menancapkan paku, sampai paku di kantong itu habis. Setelah habis, masih kadang-kadang muncul marah. Psikolog itu menyuruh orang tua agar si anak tersebut mencabuti kembali paku-paku yang ditancapkannya sampai paku-paku itupun habis tercabut dan anak semakin pandai mengendalikan emosinya. Sang psikolog lalu menyuruh orang tua agar anak itu memperhatikan lubang-lubang bekas paku itu. Lihatlah nak, dulu kamu sering mengeluarkan kata-kata yang menyakiti orang lain sama dengan kamu menancapkan paku-paku itu walaupun kamu sudah meminta maaf yaitu sama dengan mencabuti kembali paku-paku itu, tetap akan ada bekas sakit hati sama denag lubang-lubang paku yang menganga itu. Anak itupun tertunduk dan menyesali, kemudian berjanji untuk terus berkata yang baik walaupun dalam keadaan marah sepanjang hidupnya.

Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari kisah di atas. Hanya Allahlah penolong kita. Semoga kita senantiasa berada di jalan-Nya.

2 komentar:

  1. Dunia pendidikan memang begitu kompleks, banyak yang harus dibenahi. Yuk kita sama-sama berperan memajukan dunia pendidikan di Indonesia

    BalasHapus
  2. Semoga dengan setiap orang melakukan pembelajaran baik secara person maupun berkelompok, akan menambah jumlah orang yang yang berprilaku baik terutama ucapan yang keluar dari mulut ciptaan Alloh SWT. amin.

    BalasHapus